Tuesday, May 26, 2015

Ummiku Sayang

Semarang, May 26, 2015
10:58 AM

Untuk Ummiku Sayang




Ummi, bagaimana mungkin aku selalu mencari cara untuk mengakhiri hidup hanya karna untuk memuaskan pikiran gila ini, sedang disana engkau berjuang untuk tetap hidup hanya dengan alasan yang sangat sederhana “mba Ajeng adalah semangat hidup ummi, ummi akan terus hidup apapun derita sakit hati dan badan yang ummi rasakan, selama mba Ajeng bahagia, ummi akan bahagia, dan ketika mba Ajeng sedih ataupun sakit, ummi pun akan merasakan sakit.”

Ummi, menelfonku adalah kebiasaan wajib bagimu menurutmu. Sekedar menanyakan “sudah makan?” ataupun “sudah sholat”, bahkan “mba Ajeng sehat? Ummi kangen. .kapan pulang?” aku tahu ummi, masa lalu kita tak begitu baik. Aku sadar betapa kita tak bisa menebak alur hidup yang kita jalani di bumi. Aku merasa bersalah dan hina telah dan masih menganggapmu menjahatiku dimasa lalu. Engkau pasti mempunyai alasan bukan?

Ummi, bahkan ketika aku sakit, engkau selalu dikaruniai firasat kuat oleh-Nya. Engkau tahu bahkan sebelum aku beritahu. Aku yang begitu manja dan sering membuatmu khawatir hingga sebesar ini, bahkan tak jarang menyakiti perasaanmu dengan kata dan perbuatan yang membekas dihati. Namun kau tak pernah mendendam, sengguh, sungguh ketika aku sakit, engkau benar-benar ikut menderita. Do’amu yang sentiasa menyembuhkanku, ummi.

Ummi, ingatkah kebiasaan kita sewaktu menelfon. Ada aturan sendiri yang menururutku lucu namun beradab “siapa yang menelfon, dialah yang memberi salam duluan, mengakhiri dengan salam, kemudian menutup telfon.” Suatu hari ummi menelfonku, namun aku sedang dijalan dan suara lalu lalang kendaraan membuatmu kecewa. Akhirnya kukatakan padamu “ummi, nanti Ajeng tlfn balik kalau sudah sampai.” Dan akupun langsung mematikan tlfn darimu. Namun tiba-tiba engkau menelfonku kembali, dan hanya kalimat ini yang engkau katakan “tadi ummi yang nelfon, kok mba Ajeng yang matiin? Ummi juga belum salam, assalamualaikum.” Ingatkah engkau kejadian itu ummi? Bahkan aku belum sempat mengucapkan sepatah kata pun dan engkau langsung mematikan telfon. Ummi, itulah salah satu hal yang menunjukan bahwa engkau adalah sosok yang agak humoris. Ya, agak, karna tak jarang kau menutupinya L

Ummi, maaf karna aku tak sering mengatakan ini padamu, bahwa aku sangat menyayangimu. Dan maafkan juga ummiku sayang, karna aku belum begitu becus menunjukan sayangku disetiap kata dan tingkah sehari-hariku. Dengan sengaja atau tidak, aku masih sering melakukan hal-hal yang mebuatmu khawatir, aku selalu membebani pikiranmu, aku selalu merengek “aku punya jalan hidupku sendiri, aku suka menjadi diriku sendiri.” Diri yang kelakian katamu, diri yang masih aku pertahankan. Ummi, anak perempuanmu ini sungguh tak tahu cara bersyukur.

Ummi, aku percaya engkau menyayangiku, aku percaya . . .aby tak jarang mengingatkanku, akan perjuanganmu ketika akan melahirkanku, nyawamu kau pertaruhkan demi bayi perempuan yang kelakian ini. 12 bulan, iya, satu tahun aku didalam kandunganmu, sungguh masa-masa yang sulit waktu itu, hingga jika hari rabu itu aku masih tak mau keluar, kamis sebelum jum’at kliwon engkau bahkan harus dipasung di dusun itu, jimat. Adat desa mungkin masih kental pada masa itu. bersyukurlah bayi perempuan yang tumbuh kelakian ini akhirnya keluar. Walaupun dengan kaki yang membengkak raksasa, dan nyawa yang hampir melayang, engkau berhasil mengeluarkanku, ummi. “hormati ibumu, dia yang mengandungmu selama 12 bulan, waktu yang lebih lama dari umumnya ibu mengandung, jangan membantah perintahnya, jangan sakiti hatinya.” Begitu aby sering menasehatiku.

Ummi, aku percaya engkau menyayangiku, bahkan bayi perempuan yang tumbuh kelakian ini, sering melupakan perjuangan muliamu. Usahamu membuatku perempuan selalu teringat, ummi. Kau belikan aku berbagai pakaian “wanita”. Memberiku hadiah-hadiah “wanita”. Mungkin untuk menyadarkanku, dengan halus, tanpa paksaan. Aby pernah bilang padaku “ummimu sedang berjuang memerempuankanmu kembali.” Namun aku tetap cuek dan tak memperdulikan itu. L

Ummi, anak perempuan seperti apakah aku ini? Hingga engkau gantungkan separuh hidupmu padaku? Layakkah aku menerima penghormatan itu? ummiku sayang, bahkan anak perempuanmu yang masih kelakian ini, belum mampu berjanji untuk membahagiakanmu. Mulutnya hanya mampu berdoa dalam hening. Ummiku sayang, banyak hal-hal kecil tentangku yang engkau perhatikan, bahwa aku mempunyai kesulitan dalm berbicara, bahwa aku mempunyai kesulitan mengungkapkan apa yang aku pikirkan, bahwa aku keras kepala seperti bapaknya, bahwa aku egois, yang ingin disayang lebih dari adik-adiknya, bahwa aku suka musisi bondan prakoso dan pesepak bola cristiano ronaldo, bahwa warna favoritku adalah hitam, bahwa aku suka masakan sayur brokolimu, dan banyak hal lain, yang sebelumnya aku tak menyangka engkau mengetahuinya sampai satu persatu hal-hal tersebut terbukti.

Ummi, lalu adakah hal-hal kecil tentangmu yang aku perhatikan? Aku hanya tahu bahwa engkau sedang menginginkan kerudung yang sering dipakai mamah dedeh.  Aku hanya tahu betapa engkau sangat menyukai setiap kostum yang dipakai mamah dedeh diacara televise itu. suatu pagi ketika aku masih tertidur di kamar, engkau ketok-ketok pintu kamarku, engkau bangunkan aku, engkau paksa aku melek dan menyeretku ke depan layar televise “mba Ajeng, itu baju dan jilbab mamah dedeh yang ummi pengen, bagus kan? Sederhana tapi cantik.” Ya ampun, ummi bangunkan aku hanya untuk untuk menunjukan kostum mamah dedeh? Dalam hati aku menggumam, ada-ada saja ummiku ini. Namun yang keluar dari mulitku adalah mengiyakanmu “iya, bagus, cantik, dan aku pun tertidur kembali di ruang tv.

Ummi, kita mempunyai banyak cerita dalam diam, kita pun mempunyai banyak rahasia dalam cerita. Ummi sungguh, rangkaian kata tak mampu membuatku hebat dan membuktikan bahwa aku menyayangimu, walaupun rasa sayangku tak pantas dibandingkan dengan rasa sayangmu untukku. Tetapi ummi, jika sayang adalah do’a, maka sholatku adalah buktiku bahwa engkau adalah sosok yang paling aku sayangi demi nama Allah yang maha kasih dan sayang.

Ya Allah. .Sehatkanlah ibuku. Lindungilah beliau disetiap hela nafasnya. Sayangilah beliau sebagaimana beliau juga sangat menyayangiku. Mudahkanlah segala urusannya, baik urusan di dunia maupun akhiratnya. Terangilah hatinya dengan cahaya dan hidayahmu. Damping selalu ibuku. Ummi, doaku dinadimu.

Anakmu yang menyayangimu
Ajeng Inayatul Ilahiyah